Friday, August 17, 2012

ketika Semester Pendek dirasa tak adil

Liburan semester 2 ini banyak gue habiskan dengan mengikuti Semester Pendek yang diadakan Fakultas. Dengan adanya SP ini, mahasiswa berhak untuk mengulang mata kuliah yang dikira nilainya belum memuaskan. Bahagia? Tentu! sebagai Mahasiswa gue Bahagia dengan adanya SP, mata kuliah yang harusnya diulang dalam satu tahun bisa diulang hanya dalam waktu sebulan.

Persyaratannya pun mudah, tinggal bayar sesuai berapa SKS yang diambil. Memilih mata kuliahnya walaupun ga semua Matkul ngebuka kelas SP sih. dan juga tidak ada batasan nilai minimal untuk bisa mengikuti SP. Dapet nilai B, dan ngerasa gak puas? Tinggal SP aja, walaupun ga ada kepastian nilai matkul yg diambil bakal berubah lebih baik. Semua kembali dengan usaha  belajar ketika ujian dan kebaikan dosen. Hehehe

Waktu itu, gue ngobrol sama temen gue yang kerjaannya bolak-balik kampus tapi ga ikutan SP.

“X, kamu SP?”
“engga sher, aku ga ikut SP”
“kenapa ga ikut? Padahal ikut kegiatan di kampus jg kenapa ga sekalian SP aja? Lumayan loh sekalian SP bisa ngulang siapa tau nilai berubah”
“mau banget sher aku ikut, tapi..... aku ga punya uang buat bayar SP”
#jleb....

Gue tau, temen gue yang satu ini lagi ngomong dengan mimik yang serius. dan gak lagi bercandaan.

Dari ngobrol-ngobrol itu gue jadi mikir......  iyaya, SP kok dirasa gak adil....... buat temen gue yang ga punya uang buat ikutan SP. kalo diliat-liat SP jadi ajang mahasiswa yang ‘berduit’ untuk bisa ngulang. Gimana yang ga punya duit? Yaudah pasrah ga bisa ikutan SP. #miris

Pernah ngobrol juga sama dosen, dia pernah bilang “Dulu pernah ada mahasiswa yang udah nyoba minjem uang sana-sini sama tetangga tapi pas mau bayaran, ternyata kelasnya udah penuh semua”
Ini lebih #Makjleb.

Di satu sisi, SP sebenernya menjadi sebuah fasilitas dari fakultas yang membahagiakan bisa ngulang dengan waktu yang lebih cepat. Tapi di sisi lain, terasa tidak adil bagi mahasiswa kurang mampu. Atau mungkin lebih tepatnya mungkin “yang bahagia yang berduit”

Mengenai nilai minimal untuk bisa mengikuti SP menurut gue juga harus dibatasi. Rata-rata yang ikut SP adalah mahasiswa yang ngerasa nilai B itu masih kurang. Sehingga mereka mengulang agar mendapat nilai maksimal yaitu A. (termasuk gue sih, -_-)

Padahal masih banyak temen-temen nilainya masih di bawah B yang lebih membutuhkan SP tapi kehabisan kelas. Karena kelas SP bersistemkan “siapa cepat dia dapat” yaa sama sih kayak kita berebut kelas pas KRS juga. Tapi, kalo dilihat dari yang membutuhkan, nilai C,D,E jauh lebih membutuhkan kelasnya daripada yang nilainya B. Benul?

Hmmm, apa perlu SP diadakan subsidi silang? Harganya dimahalin dikit untuk bisa bayarin mahasiswa kurang mampu yang ingin ikut, namun SKS nya juga dibatasi misalkan yang di subsidi hanya bisa mengambil 6 SKS dan dibuat nilai minimal untuk bisa ikut SP ? Atau kata dosen saya, “apa perlu SP dihapuskan saja, daripada ga adil, ga semua mahasiswa bisa ngerasa bahagia dengan adanya Sp?”

Ini hanya sekedar opini aja tentang kegiatan SP yang pertama kali gue rasain sih. Setuju? ga setuju? punya opini lain? ditulis aja, daripada di bungkam dalam pikiran dan terus mengusik hati dan kepala. :) 

No comments: